Dalam Diam

Suatu pagi, persis di weekend seperti ini.. pintu rumah saya diketuk. Di depan rumah ada seorang pemuda yang tidak bisa bicara. Tangannya memberi isyarat ‘gunting’ dan menunjuk-nunjuk rumput halaman saya… ah, si pemuda itu menawarkan jasanya memotong rumput halaman.

Entah pemuda itu bisu atau tuli, yang jelas dia tak mampu bicara… hanya dengan bahasa isyarat saja. Dengan cekatan dia memotong rumput dengan mesin yang dia bawa. Tidak sekadar memangkas, tapi juga membersiihkan halaman dari sampah dan kotoran. Alhasil, halaman saya jadi rapi jali. Ongkosnya pun murah… cuman 15 ribu saja.

Setelah selesai, segera pemuda itu menuju ke rumah-rumah lain di komplek saya menawarkan jasanya. Ya, karena tiap 2 minggu sekali dia selalu datang ke komplek untuk menawarkan jasanya.

Saya merasa tersentuh dengan mas pemotong rumput itu. Di tengah ‘diam’-nya, bukan berarti diam menerima nasibnya. Dia berusaha sesuai dengan kemampuannya untuk mendapatkan rejeki. Iya, dibalik ‘diam’nya mungkin ada orangtua yang harus dirawat, adik-adik yang perlu biaya sekolah, atau siapa tau udah punya keluarga sendiri yang perlu dinafkahi.

Sedangkan kita.. mulut yang dapat berkata, telinga yang mampu mendengar telah mengantarkan kita pada nasib yang sekarang ini… penuh dengan kemudahan dan kenikmatan. Tapi di sisi lain, juga menjadi alat pengumpul dosa kecil yang terus bertumpuk. Berbicara yang tidak semestinya, mendengar yang juga tidak semestinya.

Mungkin, kalo tau seberapa besar kesalahan yang timbul dari mulut dan telinga, pemuda pemotong rumput itu bisa jadi bersyukur hidup dalam diam.

Semoga mulut dan telinga kita bisa memilih, saat untuk tidak berkata dan tidak mendengar.

9 Comments

  1. 15 ribu? Serius? Waktu di Cirebon mintanya 50 rb minimal… Sekarang belum punya pekarangan, apalagi rumah, hehehe…

    Ah, nikmat Tuhan yang mana lagi yang kita dustakan?

    Like

Leave a comment