Ibuk.

Saya cukup lama tercenung ketika akan memulai tulisan ini. Ya, sebuah tulisan tentang seorang perempuan yang melahirkan, membesarkan, merawat saya hingga saya menjadi seperti sekarang. Tulisan belum juga sampai ke intinya, tapi mata saya sudah mulai berkaca-kaca. Ya, saya akan bercerita tentang ibu saya.

Ibu, buat saya adalah sosok yang aktif. Selain bekerja sebagai guru dan kepala sekolah Taman Kanak-Kanak, Ibu aktif jadi pengurus arisan, pengurus Dharma Wanita di perumahan tempat kami tinggal dulu. Masih sempat juga dagang ini-itu untuk sekadar nambah uang jajan anak-anak. Pokoknya aktif sekali. Ibu juga mandiri dengan bisa mengendarai motor sendiri, sehingga tidak tergantung dengan Bapak yang saat itu kerja di sebuah hotel di Jogja.

Apalagi, kami 4 bersaudara. Setiap pagi rumah sudah heboh dengan segala persiapan aktivitas berangkat kerja dan berangkat sekolah. Dulu, di rumah kami juga punya asisten rumah tangga, tapi gak lama.. begitu kami berempat mulai besar, kami dilatih untuk nyuci, setrika, bersih-bersih rumah. Ya, agar mulai bertanggungjawab dengan kebutuhan pribadi.

Saya masih ingat setiap menjelang sore menanti Ibu pulang kerja. Begitu beliau masuk, saya selalu menanyakan hal yang sama setiap hari, “Ibuk nggawa apa?” (Ibu bawa apa?). Hehe, selalu menantikan oleh-oleh dari Ibu. Kadang Ibu bawa snack kotak dari rapat atau acara di sekolah tempat Ibu kerja. Sengaja nggak dimakan supaya bisa dibawa pulang untuk oleh-oleh saya dan ketiga kakak saya. Tentu saja kalo satu kotak nggak bakalan cukup, makanya Ibu pasti mampir beli yang lain supaya kami berempat tak perlu berebut.

Kedekatan saya dan Ibu semakin terasa ketika tiba saatnya saya menikah, tepatnya sesaat sebelum boyongan ke rumah suami. Saat akan berangkat, menangislah saya sejadi-jadinya, sampe sesenggukan. Beneran.. saya nangis seperti anak kecil yang harus terpisah dari ibunya. Seperti anak kecil yang tau bahwa ia tidak akan bertemu lama dengan ibunya. 😦 Padahal rumah keluarga suami dan rumah keluarga kami hanya berbeda kecamatan saja. Hihi.

Saat menikah, kuliah saya belum selesai.. masih menyelesaikan skripsi. Ibu bilang ke saya, “uang kuliah tetep Bapak Ibu yang bayar, karena itu tanggungjawab orangtua.”. Ucapan Ibu itu bener2 bikin saya lega. Kenapa? Di satu sisi saya merasa udah gak pantes minta uang ke orangtua.. udah nikah kok masih minta ke orangtua.. di sisi lainnya, mau minta suami, saya masih belum nyaman, belum biasa. Padahal saya juga belum kerja. Bingung dah. Ibu emang paling mengerti dengan anak-anaknya.

Kini, waktu berselang. Usia saya sudah masuk kategori orang dewasa. Ya, 34 tahun. Bukan lagi anak kecil, tapi nyatanya kebutuhan saya terhadap pundak Ibu tak berkurang sedikitpun. Ketika sedang sakit, sedang buneg, saya masih saja memanggil, “Ibuk..” Selain memanggil-manggil suami, ternyata secara tak sadar, mulut saya masih selalu memanggil Ibu.

Tapi waktu tak dapat berbohong, tatkala saya beranjak dewasa.. Ibu juga juga semakin menua. Pundaknya tak sekuat dulu lagi. Terkadang saya merasa nggak bisa menerima kenyataan, masih berkutat pada masa lalu, bahwa Ibu itu kuat, aktif, dan selalu mengerti kebutuhan anak-anaknya. Saya masih terus meminta kepadanya..  bahwa saya butuh Ibuk! Saya butuh pundak Ibuk!

Rasanya tak adil bagi Ibu ketika kini saatnya beliau yang membutuhkan saya.. tapi saya justru memaksakan kehendak, bahwa saya yang lebih butuh Ibu. Tidak mau menerima kondisi Ibu. Saya masih menuntut Ibu untuk terus menjadi pelindung saya. Saya masih terus meminta tapi belum bisa memberi lebih kepada Ibu. 😦

Maafkan aku, Ibuk. 😦

Aku tau, apapun yang aku berikan kepada Ibuk tidaklah cukup membalas semua jasamu. Mungkin menjadi anak sholehah yang istiqomah mendoakan Ibuk sama Bapak, adalah balasan yang paling pantas. 

Maafkan aku, Buk..

Bersama Ibu. Mei 1986.
Bersama Ibu. Mei 1986.
Bersama Ibu dan Bapak saat Idul Fitri 1435 H/2014 M.
Bersama Ibu dan Bapak saat Idul Fitri 1435 H/2014 M.

 

Artikel  ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan: Hati Ibu Seluas Samudera.

5 Comments

  1. Ibuku sayang masih terus berjalan, walau tapak kaki penuh darah penuh nanah. Seperti udara kasih yang engkau berikan, tak mampu kumembalas, ibu..ibu… 😥

    Like

  2. Ibu sudah tua tapi masih cantik.

    Ibuku sayang masih terus berjalan walau tapak kaki penuh darah penuh nanah. Seperti udara kasih yang engkau berikan, tak mampu kumembalas…ibu….ibu… 😥

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s