#CSA : Marah, Sesal, dan Syukur

Catatan Syukur Anna atau #CSA adalah sebuah proyek menulis yang pernah saya rencanakan akan terbit di blog seminggu sekali. Tapi rencana tinggal rencana. Walaupun saya ngeblog udah hampir 8 tahun, saya masih merasakan sulitnya berkomitmen menulis secara rutin.

Anyway, #CSA kali ini akan bicara tentang marah, sesal dan syukur berdasar pengalaman pribadi saya. Sebagaimana kita tahu, marah, sesal, dan syukur adalah tiga macam emosi atau perasaan yang biasa dimiliki oleh manusia.

Lalu, apa hubungan antara marah, sesal, dan syukur?

Belum lama ini, saya meluapkan kemarahan saya secara tidak terkontrol. Ngomong pake suara tinggi sampai akhirnya saya nangis sendiri. I never imagined that I could be that mad! Marahnya karena soal kerjaan, masalah miskomunikasi yang membuat salah pengertian dan persepsi. But, I won’t talk about why I got mad. Tapi, perasaan yang muncul setelah saya marah.

Meluapkan kemarahan secara emosional ternyata tidak menghasilkan apapun kecuali penyesalan. Menyesal karena saya sudah mempermalukan diri sendiri, membuat orang lain tidak nyaman, dan ternyata marah belum tentu menyelesaikan masalah.

Iya, saya nyesel banget setelah marah. Seharian saya nggak konsen mikirin kejadian itu. Bener-bener menganggu pikiran saya dan bikin down, rugi waktu dan pikiran. Bisa lepas setelah beberapa hari.

Tuh kan, marah cuman bikin nyesel dan merugikan diri sendiri.

Pada titik itu saya merasa bahwa ternyata saya tidak sebaik yang saya kira. Saya yang selama ini merasa sudah cukup baik sebagai manusia, seketika galau menyadari tenyata level pengendalian emosi saya masih cetek alias dangkal. Malu. Malu banget!

Suatu hari, saya bertemu dengan tetangga yang sering memberikan nasihat-nasihatnya pada kami di perumahan. Saya ceritakan perasaan penyesalan karena marah di luar kebiasaan.

Beliau menjawab singkat, bahwa marah adalah bagian dari fitrah manusia. Namun, kemampuan mengendalikan diri adalah buah dari iman.

Duh, langsung jleb. Dalem.

Rupanya, dari sini udah ketahuan yah. Level keimanan pun masih cetek, sholat dan ngaji saya belum cukup membuat saya lebih baik. Bukan sholat dan ngajinya yang salah, tapi bisa jadi saya beribadah baru secara fisik tapi belum dengan segenap hati.

Melampiaskan kemarahan itu boleh, tapi harus dengan alasan yang kuat dan ada caranya. Pikirkan sekali lagi sebelum kata terucap, karena kata yang keluar dari mulut kita tak akan dapat ditarik lagi.

Dan permasalahan saya soal kerjaan itu seharusnya bisa dibicarakan dengan baik dengan kepala dingin. I don’t put the blame on anyone but myself.

Atas kemarahan yang hanya membawa penyesalan ini, terselip syukur yang harus saya catat. Bahwa mungkin inilah cara Allah untuk mengingatkan saya untuk menyadari bahwa masih banyak yang harus diperbaiki dari akhlak saya. Allah seperti menyodorkan cermin di muka saya, agar saya melihat diri saya yang masih penuh kekurangan dan cela dalam ibadah maupun akhlak kepada sesama. Saya bersyukur Allah masih berkenan mengingatkan dan menegur saya.

Sebagai penutup, saya kutipkan kalimat dari Ustadz Syafiq Basalamah, “Seseorang itu kalo sudah merasa baik, sulit diperbaiki.”

2 Comments

  1. Biarin deh, pokoknya akan aku lupain kemarahan ini, biar puas hatiku. Begitu yang sering di mulanya. Tapi, apakah di akhirnya puas? Padahal sudah marah pol lho… Bila hati ini masih sehat, jujur tidak akan puas. Menyesal yang iya. Kecuali, ya itu tadi, hati telah mati.

    (catatan untuk saya sendiri setelah membaca tulisan berhikmah Mbak Anna)

    Salam dari Purwo ya, Mbak 🙂 Rasanya kok saya sudah lama tidak berkunjung dan komentar di blog ini.

    Like

    1. halo mas Azzet, saking lamanya gak ke sini, komen mas Azzet masuk ke spam loh, hehe. Baru ketahuan hari ini. 🙂 Saya juga lagi jarang blogwalking.

      Terima kasih udah mampir, tulisan ini juga catatan pribadi untuk pengingat gak boleh marah-marah lagi. Kalo keinget aja masih malu rasanya. Alhamdulillah kalo bisa diambil hikmahnya.

      Salam.

      Like

Leave a comment