Gowes Uphill : Kaliurang dan sekitarnya

Kaliurang adalah kawasan di lereng Gunung Merapi yang menjadi salah satu destinasi wisata di Jogja bagian utara (Sleman). Udara dingin dan pemandangan hijau jadi hal yang pasti didapat kalo piknik ke sana.

Kaliurang juga jadi destinasi para pesepeda, untuk ngetes kemampuan gowes uphill. Tantangannya adalah jalan menanjak tiada henti sampai ke puncak. Saya pun juga pengen ngerasain gowes uphill, sekaligus untuk mengetahui progres yang udah saya capai setelah sekian lama punya hobby bersepeda.

 

Sabtu, 3 September 2016.

Kami gowes ke Omah Petruk yang terletak di Karangklethak, Hargobinangun, Pakem, Sleman, DIY. Bersebelahan dengan Sungai Boyong. Omah Petruk adalah fasilitas penginapan yang cocok untuk acara gathering, outbound dan berbagai kegiatan sejenisnya.

Jalur yang kami tempuh adalah Jalan Boyong. Sebelumnya sempat mampir dan isi perut di Warung Ijo, Pakem.

Saat kami ke sana, ada rombongan lain yang mengadakan outbound. Suasana yang sejuk dengan banyak pepohonan membuat nyaman dan segar. Saya berjalan mengelilingi area Omah Petruk untuk melihat fasilitas yang tersedia. Kamar-kamar yang disewakan berbentuk rumah-rumah kecil yang tersebar di beberapa sudut, dengan kamar mandi terpisah. Ada juga fasilitas ibadah berupa musholla dan ruang berdoa. Fasilitas kamar mandi ditempatkan di salah sudut area, dengan air bersih yang mengalir.

Di bagian tengah area terdapat kolam sedalam 1,5 meter dengan air pegunungan. Nggak terlalu besar sih kolamnya, tapi lumayanlah bisa buat ciblon atau kecipak-kecipuk main air.

Di berbagai sudut Omah Petruk, pengunjung disuguhi dengan karya seni patung. Katanya sih, karya seni yang dipajang bisa dibeli.

Setelah cukup puas ngerasain sejuknya Omah Petruk, rombongan berpisah. Tiga teman kami pulang, sedangkan saya dan mas Nug melanjutkan perjalanan menuju Tugu Urang.

Tugu Urang terletak di kawasan wisata Kaliurang, tepatnya di kilometer 24 Jalan Kaliurang. Tugu ini jadi semacam titik target para pesepeda. Puas rasanya udah sampai di sana, melewati tanjakan yang tiada habisnya.

Ketika sampai Tugu Urang, waktu sudah menunjukkan pukul 11.00, panas pake banget! Tapi saking senangnya sampe sana, foto-foto juga dijabanin. Maklum yah, baru sekali ini sampai sana. Hehe. Sepertinya pun, orang-orang di sekitar Tugu Urang udah biasa alias gak heran ngeliat pesepeda pota-poto di sana.

Matahari udah hampir tepat di atas kepala, artinya kami berdua harus segera pulang. Meluncur turun melalui Jalan Kaliurang, menyatu dengan hiruk pikuknya lalu lintas. Sampai rumah udah pukul 13.30.

 

Sabtu, 10 September 2016.

Masih penasaran dengan tanjakan, saya, mas Nug, Henry, dan Pepi gowes lagi ke utara. Kali ini menuju Museum Gunung Merapi yang di dalamnya memuat sejarah erupsi Gunung Merapi.

Lokasinya sedikit di atas Omah Petruk. Melalui jalan Boyong kami naik perlahan. Henry dan Pepi sudah jauh di depan, saya ditemani Mas Nug minthik-minthik merambat naik. Saking pelannya, jarak saya dan Henry sampai ke Museum Gunung Merapi adalah 30 menit loh. Pukul 09.00 tepat, saya sampai di sana.

Tiket masuk ke museum hanya Rp5.000,-. Banyak pengunjung dari luar Jogja dan anak-anak sekolah. Di dalam museum, pengunjung bisa melihat replika Gunung Merapi dan foto-fotonya dari masa ke masa. Dari erupsi satu ke erupsi selanjutnya. Seperti yang udah kita tahu, Merapi adalah salah satu gunung teraktif di dunia.

Paling menyentuh saya adalah sudut tentang erupsi tahun 2010. Secara saat itu dampaknya cukup besar dan mempengaruhi kehidupan masyarakat sekitar Merapi selama beberapa waktu. Replika rumah yang kena wedhus gembel atau awan panas, menimbulkan suasana gloomy yang menyayat.

Sekitar 1 jam kami di sana kemudian turun lewat Jalan Boyong yang aspalnya nggak halus dan rata. Kondisi seperti ini cukup berbahaya untuk sepeda tanpa suspensi depan seperti sepeda lipat dan road bike. Handling harus kuat untuk menjaga keseimbangan dan tentu saja tangan harus siap sedia untuk ngerem, mengingat sepeda meluncur turun dengan cepat.

Ban belakang sepeda Mas Nug bocor di turunan ini. Alhamdulillah bawa ban dalam serep dan alat congkel ban. Makanya sampai rumah udah siang banget, pukul 14.00.

***

Dari dua kali gowes uphill ini saya merasakan adanya progres yang cukup baik, yaitu tidak banyak berhenti untuk istirahat. Beda banget ketika awal tahun 2016 lalu, mencoba gowes uphill untuk pertama kalinya menuju Kalikuning Plunyon, yang selama perjalanan sering banget berhenti dan istirahat. Walaupun kalo bicara kecepatan, saya masih ketinggal jauh dari pesepeda lainnya. Tapi walaupun begitu saya tetap semangat kok, biar pelan asal sampai dengan selamat. Pantang pulang sebelum sampai tujuan.

Walaupun postingan ini termasuk latepost alias telat, tetap perlu saya buat untuk mencatat pencapaian saya sebagai atlet gowes hore. Hahaha.

Salam gowes, teman!

PS : semua foto milik pribadi, klik foto untuk perbesar.

7 Comments

  1. pertengahan Juli kemarin iseng gowes solo nyoba tanjakan ke Kaliurang nyampe ke Telaga Putri, cuma nyoba jadah tembe mbah carik trus pulang 😀
    lumayan ngos-ngosan

    Like

Leave a comment